Jumat, 18 Mei 2012

MOMENTUM REFORMASI 1998, PENEGAKKAN HAM SAMPAI DIMANA???


Bulan ini (mei 2012), genap empat belas tahun usia lahirnya reformasi bangsa Indonesia, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998. Jika kita sedikit mereview peristiwa reformasi tersebut, bukan lah hal yang mudah perjuangan yang dilakukan oleh para intelektual, baik mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya. Gerakan reformasi masa itu bagaikan sebuah episode film drama, karena bukan hanya terdengar tangisan kebahagiaan setelah berhasil menumbangkan rezim saat itu, juga terdengar tangis kesedihan.
Peristiwa yang diawali dengan tuntutan sebagian besar masyarakat, baik mahasiswa, LSM, dan masyarakat pada umumnya, yang menginginkan keihklasan Jenderal Besar Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia tersebut juga dibumbui dengan berbagai kerusuhan yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Bahkan penculikan para aktivis, pemerkosaan dan pembunuhan misterius kepada etnis Tionghoa terjadi dalam reformasi 1998 yang lalu.
Gerakan untuk menurunkan presiden Jenderal Besar H. Soeharto tersebut dilakukan karena beliau dianggap tidak mampu membawa bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis finansial yang melanda kawasan Asia Tenggara, yang termasuk didalamnya negara Indonesia. Itu dibarengi dengan adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.
Bukan hanya itu, alasan Soeharto dianggap melakukan pelanggaran HAM berat ketika masa peralihan dari orde lama ke orde baru pun menyeruak. Perilaku tersebut sudah dianggap kelewat batas, dan harus dilakukan dengan segera apa itu reformasi di Indonesia. Tak pelak peristiwa itu pun menambah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Soeharto.
Pada tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa Universitas Trisakti melakukan unjuk rasa besar disekitar kampus mereka. Dan itulah awal mula terjadinya kerusuhan pada masa reformasi, dalam tragedi tersebut empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia karena luka tembak. Kerususuhan terjadi hampir disemua kota-kota besar Indonesia, baik Jakarta, Yogyakarta, Medan, Solo, dan kota lainnya. Pembakaran gedung-gedung dan pusat pembelanjaan, juga mewarnai kerusuhan, korban jiwa pun berjatuhan.
Sepenggal kisah diatas adalah cerita singkat mengenai kisah memilukan yang pernah terjadi di negara kita ini. Peristiwa demi peristiwa yang tidak sedikit memakan korban jiwa terjadi dengan mudahnya. Harusnya, reformasi seyogyanya bertujuan ke muara perubahan yang lebih baik, bukan malah bermuara pada konflik atau keterpurukan. Disinilah peran para intelektual, baik kalangan muda (mahasiswa), budayawan, politikus, maupun masyarakat biasa sekalipun harus mengambil peran untuk menuju perubahan yang lebih baik.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu harus diselesaikan dengan tuntas dan transparan. Agar bisa disaksikan oleh masyarakat luas. Rencana untuk menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan masa lalu dari pemerintahan sekarang, dalam hal ini presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidaklah terlalu penting. yang terpenting adalah keadilan harus ditegakkan demi ketenangan keluarga korban pelanggaran HAM.
Sebenarnya, seberapa pentingkah penegakkan HAM dalam kehidupan manusia?. Kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa harus benar-benar menjaga hak yang dikaruniakan olehNYA kepada kita semua. Intinya, yang berhak mengambil hak kita adalah Tuhan itu sendiri, bukan orang lain. Maka, jika ada pelanggaran HAM, maka harus segera dituntaskan dengan setuntas-tuntasnya, tanpa pandang bulu siapa yang melanggar.
Bagaimanakah kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus menyikapi lambannya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh elit-elit pemerintah masa lalu?. Apakah kita hanya diam saja, atau harus melakukan sesuatu?. Memang ada sekelompok masyarakat yang dengan sukarela bersedia membantu keluarga korban dalam memperjuangkan keadilan dalam kasus ini, namun kita juga bisa membantu, meskipun hanya dengan dukungan moril untuk keluarga korban.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun dianggap lamban dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM tersebut. Padahal sudah banyak sekali rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Tim Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus ini. Namun, janji tinggalah janji, realisasi hanya sebatas impian para keluarga korban. Keluarga korban hanya bisa melakukan aksi “kamisan”, yang didampingi oleh aktivis Kontras dan elemen lainnya untuk menunjukan keberanian mereka dalam menuntut keadilan terhadap rezim.
Apa yang dilakukan keluarga korban pada setiap hari kamis tersebut adalah wajar, mengingat lambannya penuntasan kasus tersebut. Pemerintah sekarang lah yang bertanggungjawab untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu, meskipun itu adalah kasus “warisan” rezim sebelumnya. Perioritas dalam kasus ini adalah dengan segera mengajukan kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah ditangan Jaksa Agung (sebagai penyidik) untuk segera diajukan dalam proses penuntutan ke Pengadilan HAM, baik yang Ad Hoc maupun permanen.
Namun, hal ini urung dilakukan oleh penguasa saat ini. Penanganan kasus-kasus seperti ini di Kejaksaan Agung terhambat oleh alasan klasik, yakni kurangnya kelengkapan berkas. Berkas yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung malah dikembalikan kembali ke Komnas HAM dengan alasan kurangnya syarat formil dan materil. Kejadian seperti ini kerap terjadi setelah penyerahan berkas oleh Komnas HAM.
Semoga saja, momentum lahirnya reformasi tahun ini adalah awal menuju perubahan yang mensejahterakan bangsa Indonesia. Khususnya keluarga korban pelanggaran HAM untuk dapatkan keadilan yang setimpal. Kita semua berharap dapat melihat senyum keikhlasan dan ketenangan para keluarga korban pelanggaran HAM yang telah ditinggalkan untuk selama-lamanya.
Sekali lagi kita sangat berharap kepada pemerintah sekarang, dalam hal ini presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Meskipun hanya sebatas do’a dan dukungan moril dari kita semua, saya yakin akan sedikit membangkitkan semangat para keluarga korban yang ditinggalkan.

Rabu, 08 Februari 2012

ADA “KEPENTINGAN” DI BALIK MEDIA MASSA INDONESIA SEKARANG!!!

Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media (Wikipedia). Setelah reformasi di Indonesia pada tahun 1998 digaungkan, masyarakat Indonesia sudah dengan mudah mengakses berbagai macam informasi dari dalam negeri, bahkan luar negeri. Mulai dari permasalahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, kita dapat mengaksesnya melalui berbagai media massa yang tersedia.
Dalam era demokrasi ini, media massa atau jurnalisme memegang peranan yang sangat penting dalam menjalankan sistem demokrasi. Bahkan jurnalisme juga dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Media dan demokrasi merupakan hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Keduanya telah melewati sejarah yang panjang dan saling berkesinambungan satu sama lain sejak zaman feodal hingga saat ini. Media massa tanpa adanya demokrasi akan mengalami kemandegan, karena media massa dapat bersuara manakala difasilitasi oleh sistem demokrasi. Begitu juga sebaliknya, demokrasi akan terlihat sinarnya manakala difasilitasi oleh media massa.
Berbeda pada zaman Orde Baru, yang sangat otoriter, dengan tangan besinya Soeharto membredel dan membendung media massa yang “vocal” dengan berbagai cara. Tindakan tersebut dilakukan agar masyarakat sama sekali tidak mengetahui kebobrokan permasalahan yang ada pada pemerintah, khususnya korupsi yang merajalela, yang dilakukan oleh kroni Soeharto. Dengan cara itu, Soeharto sukses berkuasa kurang lebih selama 32 tahun sejak tumbangnya era Orde Lama Soekarno pada tahun 1967.
Akan tetapi, rakyat yang sudah muak dengan pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, rakyat berani melawan dengan bantuan media massa yang juga sudah jenuh di kebiri oleh penguasa. Maka tumbanglah rezim otoriter Jenderal Besar Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Sejak saat itu, berkembanglah industri media massa dengan cepat, dan dengan sangat terbuka menyampaikan informasi kepada masyarakat sampai sekarang. Kontrol sosial yang dilakukan oleh media massa saat ini sangat membantu masyarakat, bagaikan lensa teropong yang selalu terarah ke berbagai sisi.
Namun, ada saja media massa yang hanya mementingkan kantong para pemodalnya. Lihat lah salah satu acara di televisi yang dengan gamblang menampilkan kemiskinan sebagian rakyat Indonesia. Dalam acara tersebut, kemiskinan sangat ditonjolkan, bahkan talent yang dijadikan “bintang tamu” mengikuti kegiatan keseharian keluarga yang miskin tersebut. Yang lebih miris lagi, acara tersebut masih bertahan sampai sekarang dengan rating yang cukup bagus. Dan keuntungan yang didapat stasiun televisi tersebut tinggi, tidak sebanding dengan hadiah atau bantuan yang diberikan oleh stasiun televisi tersebut kepada keluarga yang dijadikan alat mencari keuntungan semata. Pesan yang disampaikan kepada para pemirsa, khususnya pemerintah yakni masih banyaknya kemiskinan di negeri ini, tampaknya tidak begitu berpengaruh terhadap taraf kesejahteraan bangsa Indonesia.
Adalagi acara yang bertajuk reality religi. Acara dengan menampilkan talent-talent baru tersebut, mengisahkan sisi negatifnya dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari kisah lesbi, anak durhaka kepada orang tua, dan lain sebagainya, dipoles sedemikian rupa seperti sineteron, tapi tampak real. Semata-mata hanya keuntungan yang dicari oleh pengusaha media massa tersebut. Kekerasan yang ditampilkan dalam berbagai acara di televisi sangatlah jauh dari fungsi media massa itu sendiri, yakni sebagai pengontrol sosial.
Berbeda aliran televisi, berbeda pula pesan yang disampaikan kepada pemirsanya. Simaklah televisi berita yang ada di Indonesia. Televisi tersebut dengan gencar “menyerang” pemerintah yang dianggap belum mampu mensejahterakan warganya, mulai dari maraknya korupsi, penegakan hukum yang timpang, dan masih banyak yang lain. Memang benar, media harus mengungkap semua permasalahan yang mendera bangsa kita ini. Tapi, apakah hanya semata-mata untuk mengontrol jalanya pemerintahan sekarang??.
Kita lihat dua media massa yang fokus pada program berita. Apa yang mereka tampilkan??. Tentu kebobrokan pemerintah dan yang kurang dari pemerintah. Media massa tersebut, yang memang dimiliki oleh salah satu tokoh partai politik dan partai baru pemilu 2014 mendatang, dengan gamblang dan penuh semangat membuka aib partai pemenang pemilu yang lalu, partai Demokrat. Tentu bertujuan untuk pembentukan opini publik mengenai pemerintah sekarang, yakni pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua media massa tersebut seakan berlomba berenang di air keruh, mencari simpati masyarakat luas, agar terpengaruh dengan pemberitaan yang mereka sampaikan. Dan tentu agar popularitas pemerintah semakin merosot.
Sekali lagi memang, pemberitaan yang disampaikan oleh kedua media massa tersebut tidak melulu tentang politik semata, ada juga mengenai masalah sosial lain yang diberitakan. Akan tetapi, berita politik yang terus-menerus diumbar ke publik jelas bermaksud untuk shocking attack terhadap pemerintah, dan pembentukan opini. Padahal, salah satu pemilik media masa tersebut adalah bagian dari pemerintah juga, tidak lain dari koalisi partai pemerintah dua periode terakhir. Bahkan, media massa yang dekat dengan pemerintah seperti tidak punya kekuatan untuk mengimbangi “serangan” dari kedua media massa tersebut.
Entah sampai kapan media massa digunakan sebagai senjata untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan dan kepentingan suatu kelompok tertentu. Barang tentu akan sulit hilang selama pemilik media massa selalu bergelut dalam kancah politik.



Tebet
Rabu, 8 Februari 2012