Bulan ini (mei 2012), genap
empat belas tahun usia lahirnya reformasi bangsa Indonesia, tepatnya pada
tanggal 21 Mei 1998. Jika kita sedikit
mereview peristiwa reformasi tersebut, bukan lah hal yang mudah perjuangan yang
dilakukan oleh para intelektual, baik mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat
lainnya. Gerakan reformasi masa itu bagaikan sebuah episode film drama, karena
bukan hanya terdengar tangisan kebahagiaan setelah berhasil menumbangkan rezim
saat itu, juga terdengar tangis kesedihan.
Peristiwa yang diawali dengan tuntutan sebagian besar
masyarakat, baik mahasiswa, LSM, dan masyarakat pada umumnya, yang menginginkan
keihklasan Jenderal Besar Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai presiden Republik Indonesia tersebut juga dibumbui dengan berbagai
kerusuhan yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Bahkan penculikan para
aktivis, pemerkosaan dan pembunuhan misterius kepada etnis Tionghoa terjadi
dalam reformasi 1998 yang lalu.
Gerakan untuk menurunkan presiden Jenderal Besar H.
Soeharto tersebut dilakukan karena beliau dianggap tidak mampu membawa bangsa
Indonesia untuk keluar dari krisis finansial yang melanda kawasan Asia
Tenggara, yang termasuk didalamnya negara Indonesia. Itu dibarengi dengan
adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh keluarga Soeharto dan
kroni-kroninya.
Bukan hanya itu, alasan Soeharto dianggap melakukan
pelanggaran HAM berat ketika masa peralihan dari orde lama ke orde baru pun
menyeruak. Perilaku tersebut sudah dianggap kelewat batas, dan harus dilakukan
dengan segera apa itu reformasi di Indonesia. Tak pelak peristiwa itu pun
menambah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Soeharto.
Pada tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa Universitas
Trisakti melakukan unjuk rasa besar disekitar kampus mereka. Dan itulah awal
mula terjadinya kerusuhan pada masa reformasi, dalam tragedi tersebut empat
mahasiswa Trisakti meninggal dunia karena luka tembak. Kerususuhan terjadi
hampir disemua kota-kota besar Indonesia, baik Jakarta, Yogyakarta, Medan,
Solo, dan kota lainnya. Pembakaran gedung-gedung dan pusat pembelanjaan, juga
mewarnai kerusuhan, korban jiwa pun berjatuhan.
Sepenggal kisah diatas adalah cerita singkat mengenai kisah
memilukan yang pernah terjadi di negara kita ini. Peristiwa demi peristiwa yang
tidak sedikit memakan korban jiwa terjadi dengan mudahnya. Harusnya, reformasi
seyogyanya bertujuan ke muara perubahan yang lebih baik, bukan malah bermuara
pada konflik atau keterpurukan. Disinilah peran para intelektual, baik kalangan
muda (mahasiswa), budayawan, politikus, maupun masyarakat biasa sekalipun harus
mengambil peran untuk menuju perubahan yang lebih baik.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa
lalu harus diselesaikan dengan tuntas dan transparan. Agar bisa disaksikan oleh
masyarakat luas. Rencana untuk menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan masa
lalu dari pemerintahan sekarang, dalam hal ini presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, tidaklah terlalu penting. yang terpenting adalah keadilan harus
ditegakkan demi ketenangan keluarga korban pelanggaran HAM.
Sebenarnya, seberapa pentingkah penegakkan HAM dalam
kehidupan manusia?. Kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa harus
benar-benar menjaga hak yang dikaruniakan olehNYA kepada kita semua. Intinya,
yang berhak mengambil hak kita adalah Tuhan itu sendiri, bukan orang lain.
Maka, jika ada pelanggaran HAM, maka harus segera dituntaskan dengan setuntas-tuntasnya,
tanpa pandang bulu siapa yang melanggar.
Bagaimanakah kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia
harus menyikapi lambannya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang diduga
dilakukan oleh elit-elit pemerintah masa lalu?. Apakah kita hanya diam saja,
atau harus melakukan sesuatu?. Memang ada sekelompok masyarakat yang dengan
sukarela bersedia membantu keluarga korban dalam memperjuangkan keadilan dalam
kasus ini, namun kita juga bisa membantu, meskipun hanya dengan dukungan moril
untuk keluarga korban.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun dianggap
lamban dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM tersebut. Padahal sudah banyak
sekali rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Tim Ad Hoc Komnas HAM untuk
kasus ini. Namun, janji tinggalah janji, realisasi hanya sebatas impian para
keluarga korban. Keluarga korban hanya bisa melakukan aksi “kamisan”, yang
didampingi oleh aktivis Kontras dan elemen lainnya untuk menunjukan keberanian
mereka dalam menuntut keadilan terhadap rezim.
Apa yang dilakukan keluarga korban pada setiap hari
kamis tersebut adalah wajar, mengingat lambannya penuntasan kasus tersebut.
Pemerintah sekarang lah yang bertanggungjawab untuk menuntaskan kasus HAM masa
lalu, meskipun itu adalah kasus “warisan” rezim sebelumnya. Perioritas dalam
kasus ini adalah dengan segera mengajukan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
sudah ditangan Jaksa Agung (sebagai penyidik) untuk segera diajukan dalam
proses penuntutan ke Pengadilan HAM, baik yang Ad Hoc maupun permanen.
Namun, hal ini urung dilakukan oleh penguasa saat ini.
Penanganan kasus-kasus seperti ini di Kejaksaan Agung terhambat oleh alasan
klasik, yakni kurangnya kelengkapan berkas. Berkas yang sudah diserahkan ke
Kejaksaan Agung malah dikembalikan kembali ke Komnas HAM dengan alasan
kurangnya syarat formil dan materil. Kejadian seperti ini kerap terjadi setelah
penyerahan berkas oleh Komnas HAM.
Semoga saja, momentum lahirnya reformasi tahun ini
adalah awal menuju perubahan yang mensejahterakan bangsa Indonesia. Khususnya
keluarga korban pelanggaran HAM untuk dapatkan keadilan yang setimpal. Kita
semua berharap dapat melihat senyum keikhlasan dan ketenangan para keluarga korban
pelanggaran HAM yang telah ditinggalkan untuk selama-lamanya.
Sekali lagi kita sangat berharap kepada pemerintah
sekarang, dalam hal ini presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat
menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Meskipun hanya sebatas do’a
dan dukungan moril dari kita semua, saya yakin akan sedikit membangkitkan
semangat para keluarga korban yang ditinggalkan.