Senin, 18 Maret 2019

Mata Kita Kini "Terbuka" Soal Venezuela


Yangkee Go Home, Yangkee Go Home..
US Imprealist Number One Terrorist..
Viva Bolivarian Revolution..

Sambil mengepalkan tangan, para pemuda itu meneriakan yel yel yang biasa disuarakan oleh rakyat Venezuela ketika berunjukrasa menentang Amerika Serikat karena terus-menerus ikut campur urusan politik dalam negeri mereka. Jelas sekali, aktivis-aktivis pemuda yang hadir dalam diskusi publik bertajuk “Kabar Teranyar Dari Venezuela” di KafĂ© AOA Space, jalan Selokan Mataram, Sleman, DI Yogyakarta, pada Rabu (13/3/2019) kemarin, terlihat sangat menikmati dan mengikuti dengan seksama cerita dari sang pembicara, Surya Anta, aktivis Partai Pembebasan Rakyat (PPR) yang berkunjung langsung ke Caracas, Venezuela, beberapa waktu yang lalu.
Surya Anta menceritakan, ia bersama dua kawannya, aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dan aktivis PEMBEBASAN, diundang ke Caracas, Venezuela, untuk mengikuti dua agenda sekaligus. Agenda pertama ialah Brigada Internacionalista Che Guevara, diikuti lebih dari 120 peserta dari 44 negara, yang dilaksanakan pada Minggu, 17 Februari 2019. Sedangkan agenda kedua ialah International People’s Assembly, diikuti lebih dari 500 peserta dari 87 negara, yang dilaksanakan pada tanggal 24-27 Februari 2019. Perlu dicatat, para peserta datang bukan hanya dari kalangan aktivis kiri, tapi banyak juga dari kalangan aktivis kanan.
Kedua acara besar itu digelar untuk menjalin solidaritas internasional dan memberikan informasi secara langsung kepada dunia internasional, bahwa seperti apa sebenarnya kondisi politik, sosial dan ekonomi di Venezuela. Karena, kita semua tahu selama ini media-media mainstream, baik nasional maupun internasional, memberitakan bahwa Venezuela mengalami krisis ekonomi yang sangat parah sampai sekarang. Harga-harga dikabarkan melambung tinggi karena nilai tukar mata uang mereka anjlok. Bahkan, harga satu porsi makanan diberitakan bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Bukan hanya itu, media-media internasional juga memberitakan, rakyat Venezuela mengalami kelaparan parah. Selain itu, Venezuela juga dikabarkan “dibanjiri” pengangguran, hingga menyebabkan sebagian rakyatnya berusaha meninggalkan negaranya karena tidak tahan dengan kondisi tersebut. Kegiatan belajar mengajar pun juga diberitakan terganggu akibat krisis. Namun, narasi-narasi di media itu sangat bertolak-belakang dengan apa yang Surya Anta dan kawan-kawan alami dan saksikan dengan mata kepala sendiri.
Rakyat Venezuela memang sempat mengalami masa sulit, yakni ketika Amerika Serikat memberikan sangsi ekonomi besar-besaran dua tahun silam. Tetapi, sekarang sendi-sendi ekonomi di Venezuela mulai berjalan normal. Meski lambat, aktivitas perkantoran took-toko, pasar-pasar tradisional atau modern sudah berjalan normal. Para petani pun sudah melakukan rutinitas sehari-hari untuk menunjang kehidupan ekonomi mereka, begitu juga dengan para nelayan. Sama halnya dengan aktivitas pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi sudah kembali normal dan gratis. Tempat tinggal (rumah-susun), masuk museum, dan transportasi umum, masih gratis sampai sekarang, itu semua dibiayai oleh negara.
Hanya saja memang, setelah klaim sepihak oleh Juan Guaido, pemimpin oposisi Venezuela yang mendeklarasikan diri sebagai Presiden Venezuela beberapa waktu lalu, membuat situasi politik kembali memanas. Namun, mayoritas rakyat Venezuela masih mendukung pemerintahan Nicholas Maduro yang terpilih secara demokratis. Jelas sekali, politik adu domba yang dilakukan oleh Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Donald Trump, kepada rakyat Venezuela bisa dibilang gagal total. Dan yang pasti, rakyat Venezuela tidak terpancing provokasi, mereka cerdas. Hanya saja, Washington diyakini akan terus mencoba “menggoyang” Venezuela.
Beberapa warga kota Caracas yang ditemui oleh Surya Anta menyampaikan, rakyat Venezuela sangat menentang keras keterlibatan Amerika Serikat terkait urusan dalam negeri mereka, politik maupun ekonomi. Jika sampai melakukan tindakan militer, maka rakyat tidak akan tinggal diam dan akan melakukan perlawanan terhadap Amerika Serikat. Terlebih lagi, Venezuela juga memiliki milisi dengan jumlah ratusan ribu yang dibiayai oleh pemerintahan Nicholas Maduro.
Dalam diskusi yang dihadiri sekitar 50an aktivis muda itu, Surya Anta juga menyampaikan bahwa kehidupan rakyat Venezuela sangat demokratis dan sangat menghargai perbedaan pandangan politik. Rakyat Venezuela sangat bebas dalam berekspresi, misalnya melalui seni. Hal itu terlihat dari banyaknya mural-mural politik di kota Caracas, baik yang mengekspresikan dukungan terhadap pemerintahan Nicholas Maduro maupun yang anti Nicholas Maduro. Kehidupan beragama di Venezuela juga sangat beragam, dan yang pasti tidak ada diskriminasi.
Venezuela memang sempat mengalami krisis. Tetapi, tidak separah dengan apa yang diberitakan oleh media mainstream. Menurut Surya Anta, apa yang selama ini ditampilkan di media-media tersebut tidak sepenuhnya benar. Jika ada berita yang menampilkan suasana kota terlihat sepi, toko-toko tutup, dan terlihat ada antrian panjang, itu betul. Hanya saja, kemungkinan besar itu terjadi pada hari Sabtu atau Minggu, karena hari tersebut adalah hari libur.

Polisi Berusaha Membubarkan Acara Diskusi
Diskusi publik hasil kolaborasi dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan PEMBEBASAN ini sejatinya berjalan lancar sesuai jadwal. Yang hadir pun cukup banyak, dan yang pasti berjalan interaktif. Hanya saja, acara diskusi didatangi belasan anggota polisi, intel, pengurus RT dan Pak Camat. Bahkan, satu hari sebelum acara, beberapa anggota polisi sudah mendatangi Kafe AOA Space yang terletak di Selokan Mataram, Sleman, DI Yogyakarta ini. Menurut informasi, polisi berusaha menggagalkan acara diskusi tersebut.
Namun, kawan-kawan aktivis dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan PEMBEBASAN bertekad tetap mengadakan acara diskusi dengan tema menarik itu. Akhirnya pada hari Rabu (13/3/2019) kemarin sekitar pukul 19.00 WIB acara tetap dimulai. Benar saja, ketika acara diskusi sedang berlangsung, belasan aparat kepolisian berpakaian lengkap dan berpakaian preman, pengurus RT, dan Pak Camat, mendatangi tempat acara. Mereka berusaha membubarkan acara tersebut, dengan alasan acara diskusi tidak memiliki izin, dan sempat juga menanyakan izin usaha tempat tersebut. Aneh bukan??
Namun, pihak Kafe AOA Space dan kawan-kawan aktivis tidak tinggal diam. Mereka tetap ngotot menjalankan acara diskusi hingga waktu yang sudah ditentukan. Tentu saja, adu argumen pun terjadi. Hingga akhirnya, acara tetap berjalan sesuai rencana. Hanya saja, polisi sempat meminta file yang diputar oleh pembicara, Surya Anta, saat diskusi. Padahal, dalam file tersebut hanya berisi catatan-catatan kecil dan foto-foto dokumentasi saat berada di Caracas, Venezuela.
Tidak jelas memang maksud aparat kepolisian yang berusaha membubarkan acara diskusi tersebut. Yang jelas, apa yang dilakukan oleh polisi itu bukan kali ini saja terjadi, sudah sangat sering. Kebebasan berekspresi dan berfikir di salah satu negara demokrasi terbesar didunia ini memang sering diganggu, secara sistematis pula. Mungkin para penegak hukum lupa bahwa mereka tidak akan bisa memenjarakan pikiran.

Jumat, 18 Mei 2012

MOMENTUM REFORMASI 1998, PENEGAKKAN HAM SAMPAI DIMANA???


Bulan ini (mei 2012), genap empat belas tahun usia lahirnya reformasi bangsa Indonesia, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998. Jika kita sedikit mereview peristiwa reformasi tersebut, bukan lah hal yang mudah perjuangan yang dilakukan oleh para intelektual, baik mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya. Gerakan reformasi masa itu bagaikan sebuah episode film drama, karena bukan hanya terdengar tangisan kebahagiaan setelah berhasil menumbangkan rezim saat itu, juga terdengar tangis kesedihan.
Peristiwa yang diawali dengan tuntutan sebagian besar masyarakat, baik mahasiswa, LSM, dan masyarakat pada umumnya, yang menginginkan keihklasan Jenderal Besar Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia tersebut juga dibumbui dengan berbagai kerusuhan yang tidak sedikit memakan korban jiwa. Bahkan penculikan para aktivis, pemerkosaan dan pembunuhan misterius kepada etnis Tionghoa terjadi dalam reformasi 1998 yang lalu.
Gerakan untuk menurunkan presiden Jenderal Besar H. Soeharto tersebut dilakukan karena beliau dianggap tidak mampu membawa bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis finansial yang melanda kawasan Asia Tenggara, yang termasuk didalamnya negara Indonesia. Itu dibarengi dengan adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.
Bukan hanya itu, alasan Soeharto dianggap melakukan pelanggaran HAM berat ketika masa peralihan dari orde lama ke orde baru pun menyeruak. Perilaku tersebut sudah dianggap kelewat batas, dan harus dilakukan dengan segera apa itu reformasi di Indonesia. Tak pelak peristiwa itu pun menambah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Soeharto.
Pada tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa Universitas Trisakti melakukan unjuk rasa besar disekitar kampus mereka. Dan itulah awal mula terjadinya kerusuhan pada masa reformasi, dalam tragedi tersebut empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia karena luka tembak. Kerususuhan terjadi hampir disemua kota-kota besar Indonesia, baik Jakarta, Yogyakarta, Medan, Solo, dan kota lainnya. Pembakaran gedung-gedung dan pusat pembelanjaan, juga mewarnai kerusuhan, korban jiwa pun berjatuhan.
Sepenggal kisah diatas adalah cerita singkat mengenai kisah memilukan yang pernah terjadi di negara kita ini. Peristiwa demi peristiwa yang tidak sedikit memakan korban jiwa terjadi dengan mudahnya. Harusnya, reformasi seyogyanya bertujuan ke muara perubahan yang lebih baik, bukan malah bermuara pada konflik atau keterpurukan. Disinilah peran para intelektual, baik kalangan muda (mahasiswa), budayawan, politikus, maupun masyarakat biasa sekalipun harus mengambil peran untuk menuju perubahan yang lebih baik.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu harus diselesaikan dengan tuntas dan transparan. Agar bisa disaksikan oleh masyarakat luas. Rencana untuk menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan masa lalu dari pemerintahan sekarang, dalam hal ini presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidaklah terlalu penting. yang terpenting adalah keadilan harus ditegakkan demi ketenangan keluarga korban pelanggaran HAM.
Sebenarnya, seberapa pentingkah penegakkan HAM dalam kehidupan manusia?. Kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa harus benar-benar menjaga hak yang dikaruniakan olehNYA kepada kita semua. Intinya, yang berhak mengambil hak kita adalah Tuhan itu sendiri, bukan orang lain. Maka, jika ada pelanggaran HAM, maka harus segera dituntaskan dengan setuntas-tuntasnya, tanpa pandang bulu siapa yang melanggar.
Bagaimanakah kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus menyikapi lambannya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh elit-elit pemerintah masa lalu?. Apakah kita hanya diam saja, atau harus melakukan sesuatu?. Memang ada sekelompok masyarakat yang dengan sukarela bersedia membantu keluarga korban dalam memperjuangkan keadilan dalam kasus ini, namun kita juga bisa membantu, meskipun hanya dengan dukungan moril untuk keluarga korban.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun dianggap lamban dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM tersebut. Padahal sudah banyak sekali rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Tim Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus ini. Namun, janji tinggalah janji, realisasi hanya sebatas impian para keluarga korban. Keluarga korban hanya bisa melakukan aksi “kamisan”, yang didampingi oleh aktivis Kontras dan elemen lainnya untuk menunjukan keberanian mereka dalam menuntut keadilan terhadap rezim.
Apa yang dilakukan keluarga korban pada setiap hari kamis tersebut adalah wajar, mengingat lambannya penuntasan kasus tersebut. Pemerintah sekarang lah yang bertanggungjawab untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu, meskipun itu adalah kasus “warisan” rezim sebelumnya. Perioritas dalam kasus ini adalah dengan segera mengajukan kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah ditangan Jaksa Agung (sebagai penyidik) untuk segera diajukan dalam proses penuntutan ke Pengadilan HAM, baik yang Ad Hoc maupun permanen.
Namun, hal ini urung dilakukan oleh penguasa saat ini. Penanganan kasus-kasus seperti ini di Kejaksaan Agung terhambat oleh alasan klasik, yakni kurangnya kelengkapan berkas. Berkas yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung malah dikembalikan kembali ke Komnas HAM dengan alasan kurangnya syarat formil dan materil. Kejadian seperti ini kerap terjadi setelah penyerahan berkas oleh Komnas HAM.
Semoga saja, momentum lahirnya reformasi tahun ini adalah awal menuju perubahan yang mensejahterakan bangsa Indonesia. Khususnya keluarga korban pelanggaran HAM untuk dapatkan keadilan yang setimpal. Kita semua berharap dapat melihat senyum keikhlasan dan ketenangan para keluarga korban pelanggaran HAM yang telah ditinggalkan untuk selama-lamanya.
Sekali lagi kita sangat berharap kepada pemerintah sekarang, dalam hal ini presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Meskipun hanya sebatas do’a dan dukungan moril dari kita semua, saya yakin akan sedikit membangkitkan semangat para keluarga korban yang ditinggalkan.

Rabu, 08 Februari 2012

ADA “KEPENTINGAN” DI BALIK MEDIA MASSA INDONESIA SEKARANG!!!

Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media (Wikipedia). Setelah reformasi di Indonesia pada tahun 1998 digaungkan, masyarakat Indonesia sudah dengan mudah mengakses berbagai macam informasi dari dalam negeri, bahkan luar negeri. Mulai dari permasalahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, kita dapat mengaksesnya melalui berbagai media massa yang tersedia.
Dalam era demokrasi ini, media massa atau jurnalisme memegang peranan yang sangat penting dalam menjalankan sistem demokrasi. Bahkan jurnalisme juga dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Media dan demokrasi merupakan hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Keduanya telah melewati sejarah yang panjang dan saling berkesinambungan satu sama lain sejak zaman feodal hingga saat ini. Media massa tanpa adanya demokrasi akan mengalami kemandegan, karena media massa dapat bersuara manakala difasilitasi oleh sistem demokrasi. Begitu juga sebaliknya, demokrasi akan terlihat sinarnya manakala difasilitasi oleh media massa.
Berbeda pada zaman Orde Baru, yang sangat otoriter, dengan tangan besinya Soeharto membredel dan membendung media massa yang “vocal” dengan berbagai cara. Tindakan tersebut dilakukan agar masyarakat sama sekali tidak mengetahui kebobrokan permasalahan yang ada pada pemerintah, khususnya korupsi yang merajalela, yang dilakukan oleh kroni Soeharto. Dengan cara itu, Soeharto sukses berkuasa kurang lebih selama 32 tahun sejak tumbangnya era Orde Lama Soekarno pada tahun 1967.
Akan tetapi, rakyat yang sudah muak dengan pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, rakyat berani melawan dengan bantuan media massa yang juga sudah jenuh di kebiri oleh penguasa. Maka tumbanglah rezim otoriter Jenderal Besar Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Sejak saat itu, berkembanglah industri media massa dengan cepat, dan dengan sangat terbuka menyampaikan informasi kepada masyarakat sampai sekarang. Kontrol sosial yang dilakukan oleh media massa saat ini sangat membantu masyarakat, bagaikan lensa teropong yang selalu terarah ke berbagai sisi.
Namun, ada saja media massa yang hanya mementingkan kantong para pemodalnya. Lihat lah salah satu acara di televisi yang dengan gamblang menampilkan kemiskinan sebagian rakyat Indonesia. Dalam acara tersebut, kemiskinan sangat ditonjolkan, bahkan talent yang dijadikan “bintang tamu” mengikuti kegiatan keseharian keluarga yang miskin tersebut. Yang lebih miris lagi, acara tersebut masih bertahan sampai sekarang dengan rating yang cukup bagus. Dan keuntungan yang didapat stasiun televisi tersebut tinggi, tidak sebanding dengan hadiah atau bantuan yang diberikan oleh stasiun televisi tersebut kepada keluarga yang dijadikan alat mencari keuntungan semata. Pesan yang disampaikan kepada para pemirsa, khususnya pemerintah yakni masih banyaknya kemiskinan di negeri ini, tampaknya tidak begitu berpengaruh terhadap taraf kesejahteraan bangsa Indonesia.
Adalagi acara yang bertajuk reality religi. Acara dengan menampilkan talent-talent baru tersebut, mengisahkan sisi negatifnya dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari kisah lesbi, anak durhaka kepada orang tua, dan lain sebagainya, dipoles sedemikian rupa seperti sineteron, tapi tampak real. Semata-mata hanya keuntungan yang dicari oleh pengusaha media massa tersebut. Kekerasan yang ditampilkan dalam berbagai acara di televisi sangatlah jauh dari fungsi media massa itu sendiri, yakni sebagai pengontrol sosial.
Berbeda aliran televisi, berbeda pula pesan yang disampaikan kepada pemirsanya. Simaklah televisi berita yang ada di Indonesia. Televisi tersebut dengan gencar “menyerang” pemerintah yang dianggap belum mampu mensejahterakan warganya, mulai dari maraknya korupsi, penegakan hukum yang timpang, dan masih banyak yang lain. Memang benar, media harus mengungkap semua permasalahan yang mendera bangsa kita ini. Tapi, apakah hanya semata-mata untuk mengontrol jalanya pemerintahan sekarang??.
Kita lihat dua media massa yang fokus pada program berita. Apa yang mereka tampilkan??. Tentu kebobrokan pemerintah dan yang kurang dari pemerintah. Media massa tersebut, yang memang dimiliki oleh salah satu tokoh partai politik dan partai baru pemilu 2014 mendatang, dengan gamblang dan penuh semangat membuka aib partai pemenang pemilu yang lalu, partai Demokrat. Tentu bertujuan untuk pembentukan opini publik mengenai pemerintah sekarang, yakni pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua media massa tersebut seakan berlomba berenang di air keruh, mencari simpati masyarakat luas, agar terpengaruh dengan pemberitaan yang mereka sampaikan. Dan tentu agar popularitas pemerintah semakin merosot.
Sekali lagi memang, pemberitaan yang disampaikan oleh kedua media massa tersebut tidak melulu tentang politik semata, ada juga mengenai masalah sosial lain yang diberitakan. Akan tetapi, berita politik yang terus-menerus diumbar ke publik jelas bermaksud untuk shocking attack terhadap pemerintah, dan pembentukan opini. Padahal, salah satu pemilik media masa tersebut adalah bagian dari pemerintah juga, tidak lain dari koalisi partai pemerintah dua periode terakhir. Bahkan, media massa yang dekat dengan pemerintah seperti tidak punya kekuatan untuk mengimbangi “serangan” dari kedua media massa tersebut.
Entah sampai kapan media massa digunakan sebagai senjata untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan dan kepentingan suatu kelompok tertentu. Barang tentu akan sulit hilang selama pemilik media massa selalu bergelut dalam kancah politik.



Tebet
Rabu, 8 Februari 2012

Minggu, 01 Mei 2011

Sajak Putih..


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...

Kamis, 24 Februari 2011

Sampai Kapan Doktrin Soeharto Akan Membodohi Anak SD???

Saat saya menonton video dokumenter “Shadow Play”, saya miris, terharu, dan heran ketika  menyaksikan salah satu bagian video dokumenter itu. Dalam bagian video tersebut, ada sekelompok warga yang mencoba menghalangi keluarga yang akan memakamkan kembali tulang-belulang jasad korban pembunuhan massal, yang dianggap simpatisan komunis di Indonesia ( PKI ). Video itu sendiri menceritakan mengenai kejadian setelah tragedi 30 September 1965. Dalam video itu, dikisahkan bagaimana kekejaman tentara ( dibawah pimpinan Sarwo Edhie ) yang membantai simpatisan komunis. Ada yang memperkiraan korban tragedi setelah 30 September 1965 mencapai ratusan ribu bahkan jutaan orang.

Bayangkan, hanya karena dianggap simpatisan komunis, manusia yang sudah jadi tulang-belulang saja tidak boleh dikuburkan secara layak oleh warga yang termakan doktrin Soeharto. Benar-benar sebuah ironi bangsa yang tak habis-habisnya di negeri ini. Apalagi, dibagian lain video tersebut, ketika pengambilan gambar di area Museum Lubang Buaya, ada sekelompok anak SD sedang wisata belajar mengenai sejarah. Pemeran dalam video itupun bertanya kepada gerombolan anak SD polos itu, kira-kira begini, ” sedang apa kalian????”. “Sedang belajar sejarah, sedang menyaksikan bukti kekejaman PKI”, jawab salah satu wali murid SD tersebut ( kemungkinan wali murid ).

Saya terheran-heran bukan kepalang. Kenapa???, karena sudah puluhan tahun sejarah ini masih dipertahankan oleh pemerintah yang notabene belum terbukti kebenarannya. Para Jenderal yang menjadi korban tragedi 65 mendapat penghormatan, Pahlawan Revolusi, karena dibunuh secara “kejam” oleh pasukan Cakrabirawa. Namun, apa bedanya para Jenderal dengan para simpatisan komunis yang juga dibantai dengan sangat keji???. Kenapa mereka tidak mendapat kehormatan yang sepadan dengan Pahlawan Revolusi???. Sampai sekarang pun masih terpampang relief-relief yang menggambarkan “kekejaman” PKI di Lubang Buaya. Padahal, kebenaran mengenai penyiksaan terhadap para Jenderal sebelum dibunuh dibarengi tarian telanjang para Gerwani tidak terbukti. Ini jelas pembodohan sejarah terhadap anak-anak SD yang sangat polos.

Sampai kapan kira-kira doktrin Soeharto akan hilang dari pandangan masyarakat???.
Semoga pemerintah nantinya akan adil seadil-adilnya menyikapi realita sejarah ini..

Sabtu, 19 Februari 2011

Zaman Sudah Jauh Berubah, Bulan Tetap Tersenyum..


Kereeekkkk, bunyi gerbang depan rumah ketika aku buka..
Srak srek srak srek, bunyi sandal mengiringi langkahku menuju warung pinggir jalan yang aku tuju..
“Rokok sebungkus bang”, pintaku pada si penjual..
“Apaan, biasa??”, tanya si penjual padaku..
“Iya”, jawabku..
“Bujug dah, rame banget tadi di perempatan sono”, cerita seorang tukang ojek kepada temannya sesama tukang ojek..
“Ada apaan emangnya??”, tanya si penjual rokok pada si tukang ojek..
“Ituan, sepen.. sepen.. sepen apaan tadi, lupa. Itu yang tadinya dealer mobil, yang sekarang jadi restoran gtu dah”. Jawab si tukang ojek..

“Gini dah jadinya kalo kelurahan ngga ngatur wilayah”, sambut tukang siomay yang biasa mangkal deket warung rokok dan pangkalan ojek..
“Semakin semrawut, macet, mobil pada lewat depan rumah, yang nongkrong di daerah sini kan bukan warga sini, jadi kita yang ngerasain, hehehe”, tambah si tukang ojek..

“Ayo bang, duluan”, aku pamit pulang..
Srak srek srak srek..
Aku lihat bulan, purnamanya seakan termakan awan hitam dimalam hari..
Tetapi bulan tetap tersenyum..


                                                                                                              Tebet, 19 Februari 2011, pukul 11.15 WIB..

Sabtu, 23 Oktober 2010